web 2.0

Bahasa Arab Bahasa Pemersatu Kita (Bag. I)

Dalam satu kesempatan, penulis berbincang-bincang dengan salah satu dosen dari  Universitas Cairo, Mesir. Saat itu, beliau akan mengisi seminar internasional tentang kebudayaan Arab di negara kita. Saat itu, penulis memang beliau undang untuk hadir dalam acara tersebut. Ada hal unik di tengah perbincangan hangat itu. Beliau menyampaikan bahwa selayaknya bahasa amiyah (pasaran) Mesir menjadi bahasa Arab yang digunakan secara resmi di dunia Arab. Ketika penulis tanyakan, “Mengapa harus demikian? Bukankah tiap-tiap negara Arab memiliki bahasa amiyahnya masing-masing?” Beliau menjawab, “Lho, bukankah kami (Mesir) punya Lembaga Bahasa Arab Internasional?[1] Mungkin saja itu terjadi.” Penulis balik bertanya, “Lalu, bagaimana  dengan Al-Qur’an? Bukankah Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab fushah? Jika bahasa Arab Amiyah Mesir dijadikan standar bahasa Arab, apa jadinya nanti?”

Begitulah kira-kira isi perbincangan kami. Dengan pertanyaan penulis yang terakhir ini, dosen itu pun gugup dan tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Pembaca mulia, meninggalkan bahasa Arab fushah (fasih / resmi) merupakan suatu musibah bagi kaum  muslimin. Bagaimana kaum muslimin yang tersebar di berbagai penjuru dunia bisa bersatu  jika mereka enggan mempelajari dan menggunakan bahasa pemersatu  mereka, bahasa Arab? Yang lebih berbahaya dari itu adalah jika bahasa fushah ditinggalkan, akan berakibat pada semakin jauhnya kaum muslimin dari pemahaman Islam yang benar. Mengapa bisa demikian? Ini karena bahasa syariat Islam adalah bahasa Arab. Al-Qur’an, hadits, dan  kitab-kitab para ulama besar ditulis dengan bahasa Arab. Lalu, bagaimana mungkin kita bisa memahami Islam jika kita tidak paham bahasa Arab? Tidakkah kita ingat bahwa sebab disusunnya ilmu kaidah tata bahasa Arab (oleh Abul Aswad Ad-Duali atas perintah Ali bin Abi Thalib) bermula dari kesalahan lisan orang Arab dalam menuturkan bahasa fushah?[2]

Benarlah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang berkata,  “Tanda keimanan orang non Arab adalah cintanya terhadap bahasa arab.” (via Ibnu Taimiyyah, Iqtidha’Shiratahal Mustaqiem).

Coba perhatikan dengan seksama, betapa cerdasnya Imam Ahmad. Bagaimana mungkin kita mengaku cinta Islam, jika kita tidak mempelajari ilmu-ilmu Islam. Lalu, bagaimana mungkin kita bisa mempelajari ilmu-ilmu Islam, jika bahasa agama Islam saja tidak kita kuasai.  Maka, janganlah heran jika saat ini banyak dijumpai aliran-aliran sesat dan pemikiran-pemikiran menyimpang. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya da’i, ustadz, Kyai, cendekiawan muslim, murabbi, atau sekadar pelajar kampus yang berbicara Islam, tetapi ia sendiri buta bahasa Arab. Kondisi ini, persis seperti yang disinggung oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata,

API-571 “Manusia menjadi buta agama, bodoh dan selalu berselisih paham lantaran mereka meninggalkan bahasa Arab, dan lebih mengutamakan konnsep Aristoteles. (via Adz-Dzahabi , Siyaru A’lamin Nubala, 10/74).

Kasus di atas juga mengingatkan penulis pada kondisi yang terjadi di Khurasan zaman dulu. Kondisi ini diceritakan Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Iqtidha’ Shirathil Mustaqim. Dulu, Khurasan adalah wilayah yang berbahasa Persia. Ketika kaum muslimin generasi awal datang ke tempat tersebut, mereka membiasakan bahasa Arab pada penduduk Khurasan sehingga penduduk di seluruh wilayah baik yang sudah muslim maupun kafir menjadi penutur bahasa Arab.  Namun, lambat laun penduduk Khurasan semakin lama semakin menyepelekan bahasa Arab dan membiasakan kembali bahasa nenek moyang mereka, bahasa Persia. Akhirnya penduduk tersebut berbahasa Persia kembali.”

Hal di atas mirip dengan di tanah air kita. Negara kita adalah negara berpopulasi muslim terbesar di dunia. Namun, lihatlah, betapa banyak orang-orang tua lebih bangga jika anaknya menguasai bahasa Inggris, Jepang, Jerman, Perancis, atau Mandarin daripada bahasa Arab. Tidak tanggung-tanggung, orang tua rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit agar anaknya menguasai bahasa asing. Bahkan, banyak orang tua memberi dukungan penuh apabila anaknya kuliah di negara-negara kafir dengan standar pengajaran bahasa Inggris.

Memang, belajar bahasa asing bukanlah hal yang terlarang, bahkan bisa bernilai ibadah jika bahasa asing tersebut digunakan untuk dakwah Islam dan hal yang bermanfaat. Kita tentu tidak lupa bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintah Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Suryani (lih. Riwayat Ahmad: 182/5). Nabi juga pernah memerintah Zaid bin Tsabit tuntuk mempelajari bahasa Yahudi. (lih. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim). Namun, sebelum kita ikut-ikutan Zaid bin Tsabit mempelajari bahasa asing, sudahkah kita menguasai bahasa agama kita, bahasa Arab? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dibenci seseorang berbicara dengan bahasa selain bahasa Arab karena bahasa Arab merupakan syiar Islam dan kaum muslimin. Bahasa merupakan syiar terbesar umat-umat, karena dengan bahasa dapat diketahui ciri khas masing-masing umat.” (Iqtidho` Shirotil Mustaqim).

Maka, seharusnya bagi kita senantiasa mencamkan dengan baik bahwa bahasa Arab telah Allah pilih sebagai bahasa Al-Qur’an yang turun sebagai petunjuk bagi semua manusia.  Ingatlah bawah Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Q.S. Yusuf: 02).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

Oleh karena itu, memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Allah dan menegakkan syi’ar-syi’ar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka. (Iqtidho` Shirotil Mustaqim).

Di Mana Rasa Malu Kita? 010-150

Coba perhatikan, sebagian penjajah dari bangsa asing, mengajarkan bahasa mereka kepada penduduk lokal. Sekarang, kita bisa lihat hasilnya.Penduduk di negara-negara bekas jajahan Perancis dapat berkomunikasi dengan bahasa Perancis, meskipun itu adalah negara muslim Arab, seperti Al-Jazair di Afrika Utara. Penduduk di negara bekas jajahan Spanyol di Amerika Selatan, seperti Argentina, Venezuela, Peru, Bolivia dan sekitarnya juga fasih berbahasa Spanyol. Belum lagi Inggris yang memiliki daerah bekas jajahan yang luas sehingga bahasa Inggris menjadi bahasa internasional. Mereka adalah para penjajah yang memiliki perhatian bahasa sehingga pengaruhnya masih terasa sampai sekarang. Kemudian, bandingkan pula dengan negara kecil, yaitu Jepang. Dengan fanatisme bahasa Jepang yang demikian tinggi, dan tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai prioritas bagi penduduk Jepang, ditambah semangat ekspansi industri dan teknologi yang besar, mereka mampu berpengaruh dalam teknologi, industri, dan perekonomian dunia.

Nah, baru-baru ini dalam laporan studi demografi, disebutkan bahwa perkiraan jumlah populasi muslim di dunia adalah 1,57 milyar dengan perkiraan sebaran 60% di Asia, 20% di Timur Tengah, dan 20% sisanya di Afrika[3]. Namun, berapa banyak dari jumlah tersebut yang berkomunikasi dengan bahasa Arab? Tidak sadarkah kita, dengan fakta di atas bahwa bangsa-bangsa kafir menguasai dunia bermula dari kebanggaan mereka dengan bahasa mereka? Bagaimana kita bisa maju di tengah peradaban dunia jika kita tidak bisa menunjukkan identitas, jati diri, dan syiar bahasa pemersatu kita? Bagaimana kita bisa saling berkomunikasi dan bahu membahu bekerja sama satu sama lain dengan sesama saudara muslim yang tersebar di Arab, Afrika, Eropa, dan Amerika jika kita tidak menguasai bahasa Arab? Apakah kita akan berkomunikasi dengan sesama muslim di negara lain terus menerus dengan bahasa Inggris? Di mana rasa malu kita?

Abu Muhammad Al-‘Ashri

( www.al-ashree.com )


[1] Yang beliau maksud adalah Al-Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah, Academy of the Arabic Language in Cairo.

[2] Lihat dalam Al-Qawaa’idul Asaasiyah lil Lughotil Arobiyah, Al-Hasyimi, bagian muqaddimah.

[3] “Mapping the Global Muslim Population”. PewForum.org The report, by the Pew Forum on Religion and Public Life, took three years to compile, with census data from 232 countries and terrotories. Retrieved 2009-11-08.

Iklan Baris

Web Buletin Tauhid
Website ini adalah kumpulan berbagai artikel Buletin At Tauhid. Buletin ini diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari (YPIA) yang berpusat di Yogyakarta. Buletin ini terbit setiap Jum'at dan disebar di masjid-masjid sekitar kampus UGM.