بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Empat Jenis ‘Athof dalam Al Qur’an dan Sunnah
Pembaca yang semoga dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala pada kesempatan kali ini kita akan kembali mencoba menggali kaidah-kaidah ushul/dasar yang disampaikan para ulama untuk memamahi Al Qur’an dan Sunnah secara benar. Diantara kaidah yang disampaikan oleh para ulama adalah kaidah dalam memahami ‘athof dalam nash syari’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyampaikan ada 4 jenis athof dalam Al Qur’an dan sunnah [1],
[1]. Athof Dua Kata Atau Lebih yang Berbeda Maknanya.
Athof jenis ini merupakan athof yang paling tinggi derajatnya karena menggandengkan 2 hal yang berbeda dalam artian makna satu kata (‘athof) tidak sama dengan makna kata yang lain (ma’thuf ‘alaih/kata yang di’athofkan padanya). Contohnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
الََّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
“Dzat Yang Menciptakan langit dan bumi“. (QS. Al Furqon [25]: 59).
Maka berarti bahwa (السَّمَاوَاتِ) langit bukanlah (الْأَرْضَ) bumi. Contoh yang lain adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ
“Dzat Yang Menurunkan Taurot dan Injil“. (QS: Ali ‘Imron [3]: 3).
Sehingga (التَّوْرَاةَ) taurot bukanlah (الْإِنْجِيلَ) Injil demikian sebaliknya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan, ” ‘Athof jenis pertama inilah yang paling banyak (dalam Al Qur’an dan Sunnah pent.)”.
[2]. Athof Dua Atau Lebih yang Memiliki Hubungan Keterkaitan yang Erat.
Contoh ‘athof jenis ke dua ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Barangsiapa yang ingkar/kufur terhadap Allah, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-KitabNya, Para UtusanNya dan Hari Akhir“. (QS: An Nisa’ [4]: 136).
Maka dengan mengetahui athof jenis ini kita bisa simpulkan bahwa barangsiapa yang ingkar/kufur terhadap Allah maka sungguh ia telah ingkar/kufur kepada kata yang setelahnya yaitu Malaikat-MalaikatNya, Kitab-KitabNya, Para UtusanNya dan Hari Akhir. Contoh lainnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
“Barangsiapa yang menentang Rosul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin [2]“. (QS: An Nisa’ [4]: 115).
Maka berdasarkan kaidah yang amat agung ini kita dapat mengambil kesimpulan yang amat penting pula bahwa barangsiapa yang menentang Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam (baik itu apa yang beliau perintahkan atau yang beliau larang pent.) maka berarti ia telah keluar jalannya para sahabat rodhiyallahu ‘anhum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Para ‘ulama mengatakan,
“Barangsiapa yang tidak mengkuti jalan para sahabat maka berarti ia telah mengikuti jalan selain mereka, mereka (para ulama) menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa mengikuti jalan beragama para sahabat adalah sebuah perkara wajib dan tidaklah boleh seseorang keluar dari perkara agama yang mereka ijma’/sepakat terhadapnya” [3].
Contoh berharga lainnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Janganlah kalian mencampurkan antara kebenaran dan kebathilan dan menyembunyikan kebenaran padahal kalian telah mengetahuinya”. (QS: Al Baqoroh [2]: 42).
Dari ayat yang mulia dan kaidah ini maka kita dapat menyimpulkan bahwa barangsiapa yang mencampur adukkan antara kebenaran dan kebathilan maka ia akan menyembunyikan kebenaran sebanding dengan apa yang ia lakukan berupa pencampur adukan antara kebenaran dan kebathilan. Sehingga demikianlah apa yang telah dilakukan oleh ahlu kitab (yahudi dan nashrani) mereka menyembunyikan kebenaran yang datang dari Allah maka pastilah mereka telah menampakkan kebathilan sebanding dengan apa yang mereka sembunyikan berupa kebenaran. Misalnya mereka menggati/menyembunyikan hukum Allah untuk mereka bagi pelaku zina baik yang sudah menikah atau belum adalah dirajam (dilempari dengan batu hingga mati) dengan mencoret-coret wajahnya kemudian di arak keliling perkampungan. Demikian juga barangsiapa yang melakukan bid’ah dan mendakwahkannya maka berarti ia telah menyembunyikan sunnah yang sebanding dengan bid’ah yang ia kerjakan dan dakwahkan, sampai-sampai seorang tabi’in Hasan bin Athiyah mengatakan,
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلاََّ رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ
“Tidaklah suatu kaum mengadakan suatu kebid’ahan kecuali akan hilang sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pent.) yang semisal dengan bid’ah tersebut”.[4]
Maka lihatlah wahai saudaraku betapa mengerikannya betapa buruknya bid’ah dan dampaknya di mata generasi utama dalam ummat ini.
[3]. Athof Dua Kata Atau Lebih yang Salah Satunya Merupakan Bagian yang Lain.
Contoh penerapan kaidah ini sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى
“Jagalah Sholat Lima Waktu[5] dan Sholat Pertengahan (yaitu sholat Ashar) [6]“. (QS: Al Baqoroh [2]: 238).
Maka dalam ayat ini Allah athofkan sholat ashar kepada sholat lima waktu bersamaan dengan itu dalam kata-kata sholat ashar telah masuk dalam sholat lima waktu. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan, “Hal tersebut menunjukkan keutamaan sholat ashar dibandingkan sholat yang lain karena Allah sebutkan secara khusus setelah Allah sebutkan secara umum dengan kata sholat lima waktu” [7].
Demikian juga dalam firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,
“Ketika Kami (Allah) mengambil perjanjian kalian [8] dari para Nabi, dari dirimu wahai Muhammad, dari Nuh, dari Ibrohim, dari Musa dan dari ‘Isa bin Maryam“. (QS: Al Ahzab [33]: 7).
Dalam ayat ini Allah sebutkan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi was sallam, Nabi Nuh, Nabi Ibrohim, Nabi Musa dan Nabi ‘Isa ‘alaihimussalam padahal mereka telah masuk dalam kata-kata para Nabi hal ini menunjukkan keutamaan mereka yang merupakan Rosul Ulul Azmi.
[4]. Athof Dua Kata Atau Lebih Karena Adanya Perbedaan Shifat Keduanya.
Contoh penerapan kaidah ini adalah firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi. Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaanNya).Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk. Yang menumbuhkan rumput-rumputan“. (QS: Al A’la [87]: 1-4).
Maka Robb kita adalah Allah Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Meyempurnakan penciptanyaanNya, Yang Maha Menentukan kadar, Yang Maha Memberi petunjuk, dan Yang Maha mengeluarkan rerumputan. Hal ini Allah sebutkan sendiri karena berbedanya shifat yang terkandung di dalamnya [9].
Sebagai penutup kami bawakan contoh real pentingnya memahami kaidah di atas dalam masalah aqidah agar kita tidak salah dalam memahami nash syari’at berupa Al Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Dalam hal ini kami ambilkan contoh diantara sebab kelirunya muji’ah yang mengatakan amal bukan bagian dari iman, hal ini karena mereka keliru dalam memahami ayat Allah ‘azza wa jalla,
إِنَّ الََّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh“. (QS: Al Baqoroh [2]: 277).
Mereka mengatakan bahwa ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa amal badan bukanlah bagian dari iman karena Allah ‘Azza wa Jalla membedakan antara iman dan amal. Maka kita katakan bahwa yang tepat adalah Allah menyebutkan iman dan amal sholeh di sini dengan kata yang berbeda bukanlah menunjukkan bahwa amal bukanlah bagian dari iman [10] namun yang tepat adalah kita katakan bahwa Allah meng’athofkan amal kepada iman dalam jenis athof yang kedua yaitu Athof Dua Atau Lebih yang Memiliki Hubungan Keterkaitan yang Erat dalam artian tidaklah dikatakan seseorang beriman jika tidak punya amalan yang wajib walaupun hanya 1 dan yang ketiga yaitu Athof Dua Kata Atau Lebih yang Salah Satunya Merupakan Bagian yang Lain, dalam artian bahwa iman dan amal sholeh memiliki hubungan yang sangat erat sehinnga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Tidaklah dapat dibayangkan adanya iman yang wajib di dalam hati bersamaan dengan tidak adanya seluruh amal jawarih/badan“.
Dalil lain yang menunjukkan bahwa amal merupakan bagian dari iman yaitu hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
“Iman itu memiliki tujuh puluh sekian cabang (yang merupakan bagian dari iman), iman yang paling tinggi adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah, iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan dan malu merupakan bagian dari iman” [11].
Maka hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ini tegas menunjukkan bahwa unsur penyusun iman adalah amal hati, amal lisan dan amal badan. Atau dengan bahasa lain kita katakan bahwa amal merupakan bagian dari iman. Hal ini merupakan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang di nukilkan oleh Ibnu Abil Izz Al Hanafiy rohimahullah,
“Manusia (banyak orang) berselisih pendapat mengenai makna lafadz iman dengan perselisihan yang banyak, Imam Malik, Imam Asy Syafi’iy, Imam Ahmad, Al ‘Auza’iy, Ishaq bin Rohawayh, dan seluruh Ahli Hadits, Ahlu (Pendudukpent.) Madinah, Ahli (Mahzabpent.) Dhohiriy, dan sebagian dari Ahli Kalam/filsafat bahwa Iman adalah pembenaran dengan hati, ikrardengan lisan dan amal dengan anggota badan” [12].
Maka lihatlah saudaraku betapa keyakinan/aqidah Ahlus Sunnah dibangun berdasarkan dalil yang kokoh dan pemahaman/cara pengambilan kesimpulan yang benar. Sehingga wajarlah Abul Faroj Ibnul Jauziy rohimahullah menukilkan perkataan Ayyub,
“Sesungguhnya diantara kebahagian seorang pemuda dan orang azam/bukan arab adalah Allah tunjukkan kepada mereka berdua seorang yang mengajarkan ilmu diin/agama dari kalangan Ahlu Sunnah” [13].
Maka sudahkah kita bersyukur atas nikmat yang besar ini dengan belajar dan mengamalkan ilmu yang kita dapat ??!!
Al Faaqir ilaa Maghfiroti Robbihi,
Aditya Budiman
[1] Tulisan ini kami ringkas dan kami berikan tambahan seperlunya dari Al Iman oleh Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah rohimahullah hal. 138-143, dengan takhrij hadits oleh Amirul Mukminin fil Hadits di zaman ini Al Albani rohimahullah, terbitan Al Maktab Al Islamiy, Beirut.
[2] Ayat ini juga merupakan dalil yang dijadikan oleh para ulama bahwa wajib bagi setiap muslim mengikuti cara beragamanya para sahabat/salaf rodhiyallahu ‘anhum.
[3] Lihat Al Iman oleh Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah rohimahullah hal. 139.
[4] Perkataan beliau ini kami dapatkan dari muhadhoroh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah yang berjudul “Ad Du’a wa Atsaruhu” dalam sesi tanya jawab.
[5] IbnuAbbas rodhiyallahu ‘anhu mengatakan “Jagalah wudhunya, ruku’nya, sujudnya, dan hal-hal yang wajib dalam sholat serta waktunya”. [lihat Tanwirul Al Muqbas minTafisri Ibni Abbas hal. 39, Asy Syamilah] termasuk dalam hal ini adalah berjama’ah di mesjid untuk sholat lima waktu sebagaimana ini merupakan pendapat yang benar yaitu sholat lima waktu wajib hukumnya bagi laki-laki yang telah baligh namun pembahasan panjang lebar dalam masalah ini bukan di sini tempatnya –wal ‘ilmu ‘indaallah-.
[6] Lihat sumber di atas.
[7] Lihat Tafsir Surat Al Baqoroh oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 180/III, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[8] Yaitu agar menyembah/beribadah hanya kepada Allah semata dan berdakwah kepada manusia agar beribadah hanya kepada Allah semata. [lihat Aisar At Tafasir oleh Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairiy hafidzahullah hal. 187/IV, Terbitan Maktabah Al ‘Ulum wal Hikaam, Madinah, KSA.]
[9] Lihat penjelasan untuk memahami hal ini dalam tulisan kami yang berjudul “Sebuah Kaidah Emas [1] dan [2]” di www.alhijroh[dot]co[dot]cc.
[10] Hal ini mereka pahami bahwa semua athof itu menunjukkan kepada adanya perbedaan makna (‘athof jenis pertama dalam tulisan ini)
[11] HR. Bukhori no.9 , Muslim no. 162 dan lafadz ini milik Muslim.
[12] Lihat Syarh Al Aqidah Ath Thohawiyah oleh Ibnu Abil Izz Al Hanafiy rohimahullah dengan tahqiq oleh Syaikh DR. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turkiy dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth hal. 505/II, Terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.
[13] Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah mengatakan “(nukilan ini) dikeluarkan oleh Al Lalikai no. 101”. Lihat Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah hal. 34, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
Sumber: http://alhijroh.co.cc/