Dalam ushul tafsir terdapat kaidah bahwa “jika isim nakiroh terletak setelah kata peniadaan (nafyun), pelarangan (nahyun), syarat (syartun) atau pertanyaan (istifhaamun), maka menunjukkan sesuatu yang umum”.
Sebagai contoh adalah dalam surat An-nisa ayat 36
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“dan sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukannya dengan sesuatu apapun”.
Dari ayat ini terdapat isim nakiroh, yakni kata شَيْئًا, berdasarkan kaidah di atas, maka kita dapatkan bahwa kata ini menunjukkan sesuatu yang umum, sehingga jika diartikan sesuai kaidah di atas menjadi “janganlah kamu menyekutukan Allah dengan segala sesuatu yang ada di alam, baik di langit maupun di bumi, baik menyekutukan dengan perkataan atau perbuatan, baik syirik besar atau syirik kecil, baik yang samar ataupun yang jelas”.
Ini lah makna yang terkandung dari ayat di atas.
Begitu pula pada ayat yang lain pada surat Al-baqoroh ayat 22
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
“janganlah kamu menjadikan tandingan bagi Allah”.
Kata أَنْدَادًا terletak setelah kata pelarangan (nahyun), sehingga menunjukkan sesuatu yang umum. Dari hal ini, maka arti yang sesungguhnya dari ayat adalah “janganlah kamu menjadikan segala bentuk tandingan bagi Allah, baik dalam dzatnya, dalam sifat dan nama-namanya, dan segala hal yang merupakan kekhususan bagi Allah”.
Begitu pula dalam surat Al-infthor ayat 19
يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا
(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain.
Dari ayat di atas terdapat 3 kata yang merupakan isim nakiroh dan terletak setelah kata peniadaan, maka makna sebenarnya dari ayat di atas adalah “yaitu hari dimana semua manusia tidak ada yang mampu untuk menolong semua manusia yang lain barang sedikitpun, baik segala jenis pertolongan yang dapat mendatangkan manfaat atau menolak bahaya”.
Begitu pula pada surat Yunus ayat 107
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya”.
Kata بِضُرٍّ dan بِخَيْرٍ terletak setelah kata yang merupakan kata syarat, maka isim nakiroh tersebut menunjukkan hal yang umum. Sehingga makna dari ayat di atas adalah “jika Allah menimpakan segala sesuatu kemadhorotan kepadamu, baik kemiskinan, sakit, kebakaran, dll yang merupakan musibah bagi manusia, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Allah. Dan jika Allah menghendaki segala bentuk kebaikan berupa segala bentuk kenikmatan yang ada di dunia, maka tidak ada yang dapat menolak karunianya”.
Ayat ini menunjukkan kepada kita akan taqdir yang Allah berikan kepada manusia, dimana segala sesuatu telah Allah takdirkan, bisa berupa musibah ataupun kenikmatan.
Dari ayat ini pula, kita ketahui bahwa kesembuhan kita dari sakit, rizki yang kita dapatkan dll, maka semua itu merupakan karunia yang Allah berikan kepada hamba-hambanya. Walaupun sakit yang didapatkan dan rizki yang diperoleh adalah dari orang lain dan dari obat yang dikonsumsinya, maka perlu diketahui, semua itu merupakan sarana Allah di dalam memberikan karunianya.
Contoh isim nakiroh terletak setelah kata syarat adalah pada surat Faathir ayat 2
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu”.
Pada surat An-nahl ayat 53
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”.
Maka kata yang dicetak tebal menunjukkan sesuatu yang umum.
Adapun contoh isim nakiroh terletak setelah kata pertanyaan adalah dalam surat Faathir ayat 3
هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia”.
Kata خَالِقٍ terletak setelah kata pertanyaan yakni هَلْ, dan kata ini menunjukkan penetapan bahwasanya hanya Allah yang memberikan rizki dari langit dan bumi, di dalam kaidah, jika pertanyaan (istifham) ini menunjukkan penetapan (takrir), maka mengandung makna tantangan, sehingga maknanya “maka datangkanlah semua kholiq, semua pencipta apapun bentuknya, sebagai bukti akan adanya pemberi rizki selain Allah ta’ala”.
Contoh-contoh lain mengenai kaidah ini sangat banyak sekali..
Semoga dapat dipahami dan dapat mentadabburi al-qur’an dengan sempurna…